Kamis, 26 Mei 2016

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI makalah



PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Aspek Hukum Dalam Ekonomi Islam
Dosen Pengampu : Aristhoni. SHI, MH

Logo STAIN ku bening cilik


Disusun Oleh :

Erma Muftia Nihayatin                (1320210154)
Nabela Faridatun Nafisah            (1320210198)
Kholda Nailani                            (1320210215)

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM / ES
2016



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang masalah
Sengketa ekonomi biasanya ditafsirkan sebagai sebuah problem yang terjadi dalam ranah perekonomian sebuah negara,secara khusus sengketa ekonomi diartikan sebagai sebuah konflik atau pertentangan yang terjadi berkaitan masalah-masalah ekonomi.Sebagaimana realita yang terjadi bahwa saat ini didalam dunia bisnis terjadi begitu banyak transaksi setiap harinya,hal itu tidak menutup terjadinya sengketa diantara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.
Setiap jenis sengketa yang terjadi menuntut akan adanya pemecahan dan penyelesaian yang cepat dan tepat. Karena perlu diketahui bahwa semakin banyak dan luasnya aktivitas perdangangan maka frekuensi terjadinya sengketa dimungkinkan juga akan tinggi,selain itu membiarkan sengketa tersebut tanpa adanya penyelesaian yang cepat maka akan menimbulkan pembangunan yang tidak efien, produktifitas menurun,dunia bisnis akan mengalami kemunduran serta beragam kerugian-kerugian lainnya yang akan menimpa jika suatu sengketa terlambat diselesaikan. Oleh karena itu,perlu cara-cara khusus yang ditetapkan agar penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cepat,efektif dan efisien. Untuk itu harus dibina dan diwujudkan suatu sistem penyelesaian sengketa yang dapat menyesuaikan diri dengan laju perkembangan perekonomian dan perdagangan dimasa datang.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari sengketa ?
2.      Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa ?
3.      Apa saja sumber penyelesaian sengketa ekonomi syariah?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sengketa
Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Pihak yang merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasan kepada pihak kedua dan apabila pihak kedua tidak menanggapi dan memuaskan pihak pertama serta menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadilah apa yang dinamakan dengan sengketa. Akan tetapi dalam konteks hukum, khususnya hukum kontrak yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Dengan perkataan lain telah terjadi wanprestasi.[1]
Berikut ini pengertian sengketa menurut beberapa ahli :
1.      Windiarti
Sengketa adalah pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
2.      Ali ahmad
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari pemikiran yang berbedatentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu dari keduanya.
B.     Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Cara penyelesaian sengketa dibagi menjadi dua, yakni penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa tidak melalui pengadilan (non litigasi). Penyelesaian yang tidak melalui pengadilan yang disebut sebagai “Alternative Dispute Resolution” (ADR) atau penyelesaian sengketa alternatif.
1.      Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Pengertian ADR disini adalah lembaga penyelesaian sengketa melalui prosedur yang disepakati para pihak seperti dengan negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain lain. Dengan demikian yang dimaksud dengan Alternative Dispute Resolution dalam perspektif UU No. 30 Tahun 1999 adalah suatu pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan sengketa secara litigasi di pengadilan.
ADR mempunyai kelebihan atau kentungan dibandingkan dengan penyelesaian sengketa dengan pengadilan, yakni sebagai berikut :
a.       Sifat kesukarelaan dalam proses
b.      Prosedur yang cepat dimana prosedur alternatif penyelesaian sengketa bersifat informal
c.       Keputusannya bersifat non-judicial karena kewenangan untuk membuat keputusan ada pada pihak-pihak yang bersengketa yang berarti pihak-pihak yang terlibat mampu meramalkan dan mengontrol hasil yang disengketakan.
d.      Prosedur rahasia (confidential)
e.       Hemat waktu dan hemat biaya, dan lain sebagainya.[2]
Mekanisme penyelesaian sengketa ini terdiri antara lain :
a.      Negosiasi
Dalam Busines Law yang disusun ole Mark E. Roszkowski disebutkan: Negosiasi proses yang dilakukan oleh dua pihak dengan permintaan (kepentingan) yang saling berbeda dengan membuat suatu persetujuan secara kompromis dan memberikan kelonggaran.
Bentuk ADR seperti ini memungkinkan para pihak tidak turun langsung dalam bernegosiasi yaitu mewakilkan kepentingannya kepada masing-masing negosiator yang telah ditunjuk untuk melakukan kompromi demi tercapainya penyelesaian secara damai.
Bentuk negosiasi hanya dilakukan diluar pengadilan, tidak seperti perdamaian dan konsiliasi yang dapat dilakukan pada setiap saat, baik sebelum proses persidangan maupun dalam proses pengadiln dan dapat dilakukan didalam maupun diluar pengadilan. Agar mempunyai kekuatan mengikat kesepakatan damai melalui negosiasi wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung setelah penandatanganannya  dan dilaksanakan sejak 30 hari terhitung setelah pendaftarannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 dan 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.[3]
b.      Mediasi
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga yang disebut sebagai mediator berfungsi untuk membantu para pihak yang berselisih untuk menyediakan fasilitas bagi pihak-pihak didalam negosiasi untuk mencapai kesepakatan.
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, tidak terdapat unsur paksaan antara pihak-pihak dan mediator karena para pihak  secara sukarela meminta kepada mediator untuk membantu menyelesaikan konflik yang sedang mereka hadapi.
Langkah-langkah yang harus dilakukan bila para pelaku bisnis yang bersengketa akan menempuh jalur mediasi adalah sebagai berikut :
1)      Sepakat para pihak untuk menempuh proses mediasi
2)      Memahami masalah-masalah
3)      Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah
4)      Mencapai kesepakatan
5)      Melaksanakan kesepakatan
Keunggulan mediasi sebagai gerakan ADR adalah :
1)      Negosiasi
Keputusan untuk mediasi diserahkan kepada kesepatakan para pihak sehingga dapat dicapai suatu putusan yang benar-benar merupakan kehendak dari para pihak.
2)      Informal atau fleksibel
Tidak seperti dalam proses litigasi (pemanggilan saksi, pembuktian, replik, duplik dan sebagainya ) proses mediasi sangat fleksibel, kalau perlu para pihak dengan bantuan mediator dapat mendesain sendiri prosedur bermediasi.
3)      Interest based
Dalam mediasi tidak dicari siapa yang benar atau yang salah, tetapi lebih untuk menjaga kepentingan masing-masing pihak.
4)      Future looking
Karena lebih menjaga kepentingan masing-masing pihak, mediasi lebih menekankan untuk menjaga hubungan para pihak yang bersangkutan ke depan, tidak berorientasi ke masa lalu.
5)      Parties orieted
Dengan prosedur yang informal, maka para pihak yang berkepentingan dapat secara aktif mengontrol proses mediasi dan pengambilan penyelesaian tanpa terlalu bergantung kepada pengacara.
6)      Parties control
Penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan keputusan dari masing-masing pihak. mediator tidak dapat memaksakan untuk mencapai kesepakatan.
Mediasi disisi lain sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa juga memiliki kelemahan yang perlu disadari oleh peminat mediasi.
1)      Mediasi hanya dapat dilakukan secara efektif jika para pihak memiliki keinginan untuk menyelesaikan konsensus ( bersifat sukarela ).
2)      Pihak yang tidak beretikad baik dapat memanfaatkan poses mediasi sebagai taktik untuk mengulur-ngulur waktu penyelesaian sengketa.
3)      Beberapa jenis kasus mungkin tidaki dapat dimediasi, terutama kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah ideologi dan nilai dasar yang tidak menyediakan ruang bagi para pihak untuk melakukan kompromi-kompromi.
4)      Secara normatif mediasi hanya dapat ditempuh atau digunakan dalam lapangan hukum private tidak dalam lapangan hukum pidana ( UU No. 23 tahun 1997 Pasal 30 ayat 2 ).

c.       Konsiliasi
Konsiliasi adalah Usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut. Dalam pengertian lain Konsolidasi (conciliation), dapat pula diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai.
Persediaan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari 2 tahap yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh, konsiliator atau badan konsiliasi menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan-usulan sengketannya. usulan ini sifatnya tidak mengikat karena diterima tidaknya usulan tersebut tergantung sepenuhnya pada para pihak.[4]
Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
a)      Pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai,
b)      Setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
      Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja.
       Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim. Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.
d.      Arbitrase
Menurut UU No. 3o tahun 1999 tentang abritase dan alternatif peneyelesaian sengketa umum, arbitrase dalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Arbitrase sangat berbeda dengan mediasi dan konsiliasi. Perbedaan pokoknya terletak pada fungsi dan kewenangannya, yakni :
1)      Arbitrase diberi kewenangan penuh kepada para pihak yang akan menyelesaikan sengketa.
2)      Untuk itu arbiter ( arbitral tribunal ) berwenang mengambil putusan yang lazim disebut award.
3)      Sifat putusan langsung final and binding ( final dan mengikat ) kepada para pihak.
Secara umum dinyatakan bahwa lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradialan. kelebihan tersebut antara lain :
1)      Dijamin kerahasian sengketa para pihak.
2)      Dapat dihindarkan kelembatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan administrasi.
3)      Para pihak dapat memilih arbiter yang emnurut keyakinannya mempunyai pengetuhuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenal masalah yang disengketan, jujur dan adil.
Putusan arbitrase mempunyai putusan yang mengikat pada pihaknya dengan melalui tata cara atau prosedur yang sangat sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.
2.      Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Pengadilan / Litigasi
Ligitasi adalah artinya persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk juga memberikan informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama untuk mengidentifikasi permasalahan dan menghindari permasalahan yang tak terduga.
Ligitasi sekarang menjadi tuntutan masyarakat akan adanya supremasi hukum terlihat dari perkembangan masyarakat yang semakin mengedepankan aspek legalitas. Kecenderungan masyarakat dewasa ini lebih memilih institusi hukum/ pengadilan dalam menyelesaikan sengketa atau permasalahan yang terjadi diantara mereka, daripada harus duduk bersama, bermusyawarah untuk mencapai mufakat.
   Proses pengadilan tidak selalu terjadi dalam gugatan penggugat. daloam beberapa hal kasus tuduhan palsu dan kurangnya fakta-fakta dari orang-orang yang terkait dapat menyebabkan akan cepat menyalahkan, dan ini dapat mneyebabkan litigasi atau tuntutan hukum. sayangnya orang tidak mau bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, jadi bukanya menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka, mereka mencoba menyalahkan  orang lain dan hanya bisa memperburuk keadaan.
Asas-asas umum pengadilan :
1.      Asas kebebasan hakim
2.      Hakim Bersifat menunggu
3.      Pemeriksaan berlangsung terbuka
4.      Asas kesamaan (Audi et alteran partem)
5.      Hakim aktif memimpin proses
6.      Putusan disertai alasan (Motiverings Plicht)
7.      Tidak ada keharusan untuk mewakilkan
8.      Beracara dikenakan biaya
9.      Peradilan dilakukan “Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”
10.  Susunan persidangan dalam bentuk majlis
11.  Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.[5]
Kelemahan sistem pengadilan :
1.      Proses penyelesaian sengketa yang lambat
2.      Biaya perkara yang mahal
3.      Pengadilan tidak tanggap
4.      Putusan pengadilan sering tidak menyelesaikan masalah
5.      Kemampuan hakim yang bersifat generalis [6]
Apabila persidangan berjalan lancar maka jumlah persidangan kurang lebih 8 kali yang terdiri dari sidang pertama sampai dengan putusan hakim.[7]

Lembaga penyelesaiannya :
a.       Pengadilan Umum
Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis mempunyai karakteristik :
1)      Prosesnya sangat formal
2)      Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3)      Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4)      Sifat keputusan memaksa dan mengikat ( coercive and binding )
5)      Orientasi ke pada fakta hukum ( mencari pihak yang berasalah )
6)      Persidangan bersifat terbuka
b.      Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada dilingkungan pengadilan umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dan sengketa HAKI, pengadilan niaga mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1)      Prosesnya sangat formal
2)      Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3)      Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4)      Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding )
5)      Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah)
6)      Proses persidangan bersifat terbuka
7)      Waktu singkat
Kelebihan penyelesaian sengketa melalui pengadilan ialah ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum,peradilan agama,peradilan militer,dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini ).
Kelemahan penyelesaian sengketa melalui pengadilan ialah kurangnya kepastian hukum dan hakim yang awam (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum ).

Contoh kasus
Beberapa waktu yang lalu kasus sengketa tanah menjadi kabar yang heboh bagi sebagian besar media massa. Salah satu yang hangat dibicarakan adalah kasus sengketa tanah merunya antara warga dengan PT.Portanigra. kasus ini mencuat saat warga meruya memprotes keputusan mahkamah agung yang memenangkan gugatan PT.Portanigra atas tanah seluas 44 Ha. Kepemilikan berganda atas tanah tersebut berawal dari penyelewengan djuhri,mandor tanah, atas kepercayaan yang diberikan benny melalui toegono dalam pembebasan di meruya selatan pada tahun 1972. Djuhri mernjual tanah itu kembali kepada pihak lain karena tahu pembelian tanah itu melanggar aturan.
Penyelesaian :
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim/pengaduan/keberatan dari masyarakat ( perorangan / badan hukum ) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara dibidang pertahanan yang telah ditetapkan oleh pejabat Tata Usaha Negara dilingkungan Badan Pertanahan Nasional,serta keputusan pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut,mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat /surat keputusan pemberian hak atas tanah), ada pada kepala badan pertanahan Nasional. Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain : mengenai masalah status tanah,masalah kepemilikan, dan masalah bukti-bukti porelehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
 Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke badan pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap. Maka badan pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke kepala kantor wilayah badan pertanahan Nasional Provinsi dan kepala kantor pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang disengketakan.
Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi,maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan maka apabila dipandang perlu setelah kepala kantor pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari kenyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam surat Edaran kepala badan pertanahan nasional tanggal 14-1-1992 no 110-150 perihal pencabutan instruksi menteri dalam negeri no 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya instruksi menteri dalam negeri no 16 tahun 1984, maka diminta perhatian dari pejabat badan pertanahan nasional di daerah yaitu para kepala kantor Wilayah Badan pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala kantor Pertanahan Kabupaten / Kota , agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atas pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari pengadilan. (perbandingan dengan peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 tahun 1997 pasal 126 ).[8]
C.    Sumber Hukum dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
Perlu diuraikan sumber-sumber hukum dalam menyelesaikan sengketa ekonomi Syariah, antara lain sebagai berikut:
1.      Sumber Hukum Acara
Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syariah adalah Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
Sementara ini Hukum Acara yang berlaku dilingkungan Pengadilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, Rechtreglement Voor De Buittengewesten (R.Bg) untuk luar Jawa Madura. Kedua aturan Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Disamping dua peraturan sebagaimana tersebut diatas, diberlakukan juga Bugerlijke Wetbook Voor Indonesia (BW) atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya buku ke IV tentang Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993.
2.      Sumber Hukum Materil
a.       Nash al Qur’an
Dalam al Qur’an terdapat berbagai ayat yang membahas tentang ekonomi berdasarkan prinsip syariah yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan keuangan. Syauqi al Fanjani menyebutkan secara eksplisit ada 21 ayat yaitu Al Baqarah ayat 188, 275 dan 279, An Nisa ayat 5 dan 32, Hud ayat 61 dan 116, al Isra ayat 27, dan lain-lain.
Disamping ayat-ayat tersebut diatas sebenarnya masih banyak lagi ayat-ayat al Qur’an yang membahas tentang masalah ekonomi dan keuangan baik secara mikro maupun makro, terutama tentang prinsip-prinsip dasar keadilan dan pemerataan, serta berupaya selalu siap untuk memenuhi transaksi ekonomi yang dilakukannya selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah.
b.      Nash al Hadits
Melihat kepada kitab-kitab Hadits yang disusun leh para ulama hadits dapat diketahui bahwa banyak sekali hadits Rasulullah SAW yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi dan keuangan islam. Oleh karena itu mempergunakan al Hadits sebagai sumber hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi Syariah sangat dianjurkan pada pihak-pihak yang berwenang.
c.       Peraturan Perundang-Undangan
Benyak sekali aturan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syariah.
d.      Aqad Perjanjian
Mayoritas ulama berpendapat bahwa asal dari semua transaksi adalah halal. Namun asal dari persyaratan memang masih diperselisihkan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa persyaratan itu harus diikat dengan nash-nash atau kesimpulan-kesimpulan dari nash melalui ijtihad. Demikian telah disepakati bahwa asal dari perjanjian itu adalah keridhaan kedua belah pihak, konsekuensinya apa yang telah disepakati bersama harus dilaksanakan. Menurut Taufiq dalam mengadili perkara sengketa ekonomi Syariah, sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang lain merupakan pelengkap saja.
e.       Fiqih dan Ushul Fiqh
Fiqih merupakan sumberhukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Sebagian besar kitab-kitab fiqih tertentu berisi berbagai masalah muamalah yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syari’ah.
f.       Adat kebiasaan
Jika masalah-masalah yang timbul saat ini tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak da prinsip-prinsip umum yang dapat disimpulkan dari peristiwa itu maka dibenarkan untuk mengambil dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sepanjang nilai-nilai itu tidak bertentangan dengan syariat islam.
g.      Yurispudensi[9]





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Pihak yang merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasankepada pihak kedua dan apabila pihak kedua tidak menanggapu dan memuaskan pihak pertama serta menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadilah apa yang dinamakan dengan sengketa.
Penyelesaian sengketa dibagi menjadi dua, yakni penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa tidak melalui pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan meliputi mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan lain-lain.
Perlu diuraikan sumber-sumber hukum dalam menyelesaikan sengketa ekonomi Syariah, antara lain sebagai berikut:
1.      Sumber Hukum Acara
2.      Sumber Hukum Materil, sumber hukum ini meliputi :
a.       Nash al Qur’an
b.      Nash al Hadits
c.       Peraturan Perundang-Undangan
d.      Aqad Perjanjian
e.       Fiqih dan Ushul Fiqh
f.       Adat kebiasaan
g.      Yurispudensi





Daftar Pustaka

Kantaatmadja, Komar. 2001. Beberapa masalah dalam penerapan ADR di Indonesia dalam prospek dan pelaksanaan Arbitrase di Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti
Salam, Moch. Faisal. 2007. Penyelesaian sengketa bisns secara nasional dan internasional. Bandung : Mandar Maju
Hak, Nurul. 2011. Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syari’ah. Yogyakarta : Teras
R. Soeroso, Tata Cara Dan Proses Persidangan. Sinar Grafika, Jakarta,2001


[1] Komar kantaatmadja, Beberapa masalah dalam penerapan ADR di Indonesia dalam prospek dan pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 94
[2] Moch Faisal Salam, Penyeesaian sengketa bisns secara nasiona dan internasional, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 177-178
[3] Nurul Hak, Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syari’ah, Teras, Yogyakarta, 2011, hal.156-157
[4] Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 261
[5] Op. Cit, Moch Faisal Salam, hal. 197
[6] Ibid, hal. 172
[7] R. Soeroso, Tata Cara Dan Proses Persidangan. Sinar Grafika, Jakarta,2001, hal. 41
[9] Op.Cit, Nurul Hak, hal.201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar