PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Aspek Hukum Dalam Ekonomi Islam
Dosen Pengampu : Aristhoni. SHI, MH
Disusun Oleh :
Erma Muftia
Nihayatin (1320210154)
Nabela
Faridatun Nafisah (1320210198)
Kholda Nailani (1320210215)
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM / ES
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
masalah
Sengketa ekonomi biasanya ditafsirkan sebagai sebuah problem yang
terjadi dalam ranah perekonomian sebuah negara,secara khusus sengketa ekonomi
diartikan sebagai sebuah konflik atau pertentangan yang terjadi berkaitan
masalah-masalah ekonomi.Sebagaimana realita yang terjadi bahwa saat ini didalam
dunia bisnis terjadi begitu banyak transaksi setiap harinya,hal itu tidak
menutup terjadinya sengketa diantara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi
tersebut.
Setiap jenis sengketa yang terjadi menuntut akan adanya pemecahan
dan penyelesaian yang cepat dan tepat. Karena perlu diketahui bahwa semakin
banyak dan luasnya aktivitas perdangangan maka frekuensi terjadinya sengketa
dimungkinkan juga akan tinggi,selain itu membiarkan sengketa tersebut tanpa
adanya penyelesaian yang cepat maka akan menimbulkan pembangunan yang tidak
efien, produktifitas menurun,dunia bisnis akan mengalami kemunduran serta
beragam kerugian-kerugian lainnya yang akan menimpa jika suatu sengketa
terlambat diselesaikan. Oleh karena itu,perlu cara-cara khusus yang ditetapkan
agar penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cepat,efektif dan efisien.
Untuk itu harus dibina dan diwujudkan suatu sistem penyelesaian sengketa yang
dapat menyesuaikan diri dengan laju perkembangan perekonomian dan perdagangan
dimasa datang.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dari sengketa ?
2.
Bagaimana mekanisme penyelesaian
sengketa ?
3.
Apa saja sumber penyelesaian
sengketa ekonomi syariah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sengketa
Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak
yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Pihak yang merasa dirugikan menyampaikan
ketidakpuasan kepada pihak kedua dan apabila pihak kedua tidak menanggapi dan
memuaskan pihak pertama serta menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadilah
apa yang dinamakan dengan sengketa. Akan tetapi dalam konteks hukum, khususnya
hukum kontrak yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi
antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah
dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Dengan
perkataan lain telah terjadi wanprestasi.[1]
Berikut ini pengertian sengketa menurut
beberapa ahli :
1.
Windiarti
Sengketa adalah pertentangan atau konflik yang terjadi antara
individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau
kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain.
2.
Ali ahmad
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang
berawal dari pemikiran yang berbedatentang suatu kepentingan atau hak milik
yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua
pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah perilaku
pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat
hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu dari keduanya.
B.
Mekanisme
Penyelesaian Sengketa
Cara
penyelesaian sengketa dibagi menjadi dua, yakni penyelesaian sengketa melalui
pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa tidak melalui pengadilan
(non litigasi). Penyelesaian yang tidak melalui pengadilan yang disebut
sebagai “Alternative Dispute Resolution” (ADR) atau penyelesaian
sengketa alternatif.
1.
Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan
Pengertian ADR disini adalah lembaga
penyelesaian sengketa melalui prosedur yang disepakati para pihak seperti
dengan negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain lain. Dengan demikian yang
dimaksud dengan Alternative Dispute Resolution dalam perspektif UU No.
30 Tahun 1999 adalah suatu pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan
berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan sengketa secara litigasi
di pengadilan.
ADR mempunyai kelebihan atau kentungan dibandingkan dengan
penyelesaian sengketa dengan pengadilan, yakni sebagai berikut :
a.
Sifat kesukarelaan dalam proses
b.
Prosedur yang cepat dimana prosedur
alternatif penyelesaian sengketa bersifat informal
c.
Keputusannya bersifat non-judicial
karena kewenangan untuk membuat keputusan ada pada pihak-pihak yang
bersengketa yang berarti pihak-pihak yang terlibat mampu meramalkan dan
mengontrol hasil yang disengketakan.
d.
Prosedur rahasia (confidential)
e.
Hemat waktu dan hemat biaya, dan
lain sebagainya.[2]
Mekanisme penyelesaian sengketa ini
terdiri antara lain :
a.
Negosiasi
Dalam Busines Law yang disusun ole Mark E.
Roszkowski disebutkan: Negosiasi proses yang dilakukan oleh dua pihak dengan
permintaan (kepentingan) yang saling berbeda dengan membuat suatu persetujuan
secara kompromis dan memberikan kelonggaran.
Bentuk ADR seperti ini memungkinkan para pihak
tidak turun langsung dalam bernegosiasi yaitu mewakilkan kepentingannya kepada
masing-masing negosiator yang telah ditunjuk untuk melakukan kompromi demi
tercapainya penyelesaian secara damai.
Bentuk negosiasi hanya dilakukan diluar
pengadilan, tidak seperti perdamaian dan konsiliasi yang dapat dilakukan pada
setiap saat, baik sebelum proses persidangan maupun dalam proses pengadiln dan
dapat dilakukan didalam maupun diluar pengadilan. Agar mempunyai kekuatan
mengikat kesepakatan damai melalui negosiasi wajib didaftarkan di Pengadilan
Negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung setelah penandatanganannya dan dilaksanakan sejak 30 hari terhitung
setelah pendaftarannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 dan 7 dan 8
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.[3]
b.
Mediasi
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui
pihak ketiga. Pihak ketiga yang disebut sebagai mediator berfungsi untuk
membantu para pihak yang berselisih untuk menyediakan fasilitas bagi
pihak-pihak didalam negosiasi untuk mencapai kesepakatan.
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi,
tidak terdapat unsur paksaan antara pihak-pihak dan mediator karena para
pihak secara sukarela meminta kepada
mediator untuk membantu menyelesaikan konflik yang sedang mereka hadapi.
Langkah-langkah yang harus dilakukan bila para
pelaku bisnis yang bersengketa akan menempuh jalur mediasi adalah sebagai
berikut :
1)
Sepakat para pihak untuk menempuh
proses mediasi
2)
Memahami masalah-masalah
3)
Membangkitkan pilihan-pilihan
pemecahan masalah
4)
Mencapai kesepakatan
5)
Melaksanakan kesepakatan
Keunggulan mediasi sebagai gerakan
ADR adalah :
1)
Negosiasi
Keputusan untuk mediasi diserahkan kepada
kesepatakan para pihak sehingga dapat dicapai suatu putusan yang benar-benar
merupakan kehendak dari para pihak.
2)
Informal atau fleksibel
Tidak seperti dalam proses litigasi (pemanggilan
saksi, pembuktian, replik, duplik dan sebagainya ) proses mediasi sangat
fleksibel, kalau perlu para pihak dengan bantuan mediator dapat mendesain
sendiri prosedur bermediasi.
3)
Interest based
Dalam mediasi tidak dicari siapa yang benar
atau yang salah, tetapi lebih untuk menjaga kepentingan masing-masing pihak.
4)
Future looking
Karena lebih menjaga kepentingan masing-masing
pihak, mediasi lebih menekankan untuk menjaga hubungan para pihak yang
bersangkutan ke depan, tidak berorientasi ke masa lalu.
5)
Parties orieted
Dengan prosedur yang informal, maka para pihak
yang berkepentingan dapat secara aktif mengontrol proses mediasi dan
pengambilan penyelesaian tanpa terlalu bergantung kepada pengacara.
6)
Parties control
Penyelesaian sengketa melalui mediasi
merupakan keputusan dari masing-masing pihak. mediator tidak dapat memaksakan
untuk mencapai kesepakatan.
Mediasi disisi lain sebagai salah satu cara
penyelesaian sengketa juga memiliki kelemahan yang perlu disadari oleh peminat
mediasi.
1)
Mediasi hanya dapat dilakukan
secara efektif jika para pihak memiliki keinginan untuk menyelesaikan konsensus
( bersifat sukarela ).
2)
Pihak yang tidak beretikad baik
dapat memanfaatkan poses mediasi sebagai taktik untuk mengulur-ngulur waktu
penyelesaian sengketa.
3)
Beberapa jenis kasus mungkin tidaki
dapat dimediasi, terutama kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah ideologi
dan nilai dasar yang tidak menyediakan ruang bagi para pihak untuk melakukan
kompromi-kompromi.
4)
Secara normatif mediasi hanya dapat
ditempuh atau digunakan dalam lapangan hukum private tidak dalam lapangan hukum
pidana ( UU No. 23 tahun 1997 Pasal 30 ayat 2 ).
c.
Konsiliasi
Konsiliasi adalah Usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih
untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut. Dalam
pengertian lain Konsolidasi (conciliation), dapat pula diartikan sebagai
pendamai atau lembaga pendamai.
Persediaan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari 2 tahap yaitu
tahap tertulis dan tahap lisan. berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh,
konsiliator atau badan konsiliasi menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai
dengan kesimpulan dan usulan-usulan sengketannya. usulan ini sifatnya tidak
mengikat karena diterima tidaknya usulan tersebut tergantung sepenuhnya pada
para pihak.[4]
Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR.
Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip
dengan mix arbitration, yang berarti:
a) Pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak
sebagai conciliator atau majelis pendamai,
b) Setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk
memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek,
terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR,
hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja.
Jarang ditemukan pada saat sekarang
penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim. Lain halnya di
negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea
Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat
menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui
konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.
d.
Arbitrase
Menurut UU No. 3o
tahun 1999 tentang abritase dan alternatif peneyelesaian sengketa umum, arbitrase
dalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.
Arbitrase sangat
berbeda dengan mediasi dan konsiliasi. Perbedaan pokoknya terletak pada fungsi
dan kewenangannya, yakni :
1) Arbitrase diberi kewenangan penuh kepada para pihak yang akan menyelesaikan
sengketa.
2) Untuk itu arbiter ( arbitral tribunal ) berwenang mengambil putusan yang
lazim disebut award.
3) Sifat putusan langsung final and binding ( final dan mengikat ) kepada para
pihak.
Secara umum dinyatakan
bahwa lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga
peradialan. kelebihan tersebut antara lain :
1) Dijamin kerahasian sengketa para pihak.
2) Dapat dihindarkan kelembatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan
administrasi.
3) Para pihak dapat memilih arbiter yang emnurut keyakinannya mempunyai
pengetuhuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenal masalah yang
disengketan, jujur dan adil.
Putusan arbitrase
mempunyai putusan yang mengikat pada pihaknya dengan melalui tata cara atau
prosedur yang sangat sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih
sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk
eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.
2.
Penyelesaian Sengketa Perdata
Melalui Pengadilan / Litigasi
Ligitasi adalah
artinya persiapan dan presentasi dari setiap kasus, termasuk juga memberikan
informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan kerjasama untuk
mengidentifikasi permasalahan dan menghindari permasalahan yang tak terduga.
Ligitasi sekarang menjadi
tuntutan masyarakat akan adanya supremasi hukum terlihat dari perkembangan
masyarakat yang semakin mengedepankan aspek legalitas. Kecenderungan masyarakat
dewasa ini lebih memilih institusi hukum/ pengadilan dalam menyelesaikan
sengketa atau permasalahan yang terjadi diantara mereka, daripada harus duduk
bersama, bermusyawarah untuk mencapai mufakat.
Proses pengadilan tidak selalu terjadi dalam
gugatan penggugat. daloam beberapa hal kasus tuduhan palsu dan kurangnya
fakta-fakta dari orang-orang yang terkait dapat menyebabkan akan cepat
menyalahkan, dan ini dapat mneyebabkan litigasi atau tuntutan hukum. sayangnya
orang tidak mau bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, jadi bukanya
menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka, mereka mencoba menyalahkan orang lain dan hanya bisa memperburuk
keadaan.
Asas-asas umum pengadilan :
1.
Asas kebebasan hakim
2.
Hakim Bersifat menunggu
3.
Pemeriksaan berlangsung terbuka
4.
Asas kesamaan (Audi et alteran
partem)
5.
Hakim aktif memimpin proses
6.
Putusan disertai alasan
(Motiverings Plicht)
7.
Tidak ada keharusan untuk
mewakilkan
8.
Beracara dikenakan biaya
9.
Peradilan dilakukan “Demi keadilan
berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”
10.
Susunan persidangan dalam bentuk
majlis
11.
Peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan.[5]
Kelemahan sistem pengadilan :
1.
Proses penyelesaian sengketa yang
lambat
2.
Biaya perkara yang mahal
3.
Pengadilan tidak tanggap
4.
Putusan pengadilan sering tidak
menyelesaikan masalah
5.
Kemampuan hakim yang bersifat
generalis [6]
Apabila
persidangan berjalan lancar maka jumlah persidangan kurang lebih 8 kali yang
terdiri dari sidang pertama sampai dengan putusan hakim.[7]
Lembaga
penyelesaiannya :
a. Pengadilan Umum
Pengadilan Negeri
berwenang memeriksa sengketa bisnis mempunyai karakteristik :
1) Prosesnya sangat formal
2) Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3) Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4) Sifat keputusan memaksa dan mengikat ( coercive and binding )
5) Orientasi ke pada fakta hukum ( mencari pihak yang berasalah )
6) Persidangan bersifat terbuka
b.
Pengadilan Niaga
Pengadilan
Niaga adalah pengadilan khusus yang berada dilingkungan pengadilan umum yang
mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan
pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dan sengketa HAKI,
pengadilan niaga mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1)
Prosesnya sangat formal
2)
Keputusan dibuat oleh pihak ketiga
yang ditunjuk oleh negara (hakim)
3)
Para pihak tidak terlibat dalam
pembuatan keputusan
4)
Sifat keputusan memaksa dan
mengikat (coercive and binding )
5)
Orientasi pada fakta hukum (mencari
pihak yang salah)
6)
Proses persidangan bersifat terbuka
7)
Waktu singkat
Kelebihan
penyelesaian sengketa melalui pengadilan ialah ruang lingkup pemeriksaannya
yang lebih luas (karena sistem peradilan di indonesia terbagi menjadi beberapa
bagian yaitu peradilan umum,peradilan agama,peradilan militer,dan peradilan
Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui
jalur ini ).
Kelemahan
penyelesaian sengketa melalui pengadilan ialah kurangnya kepastian hukum dan
hakim yang awam (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum ).
Contoh kasus
Beberapa waktu
yang lalu kasus sengketa tanah menjadi kabar yang heboh bagi sebagian besar
media massa. Salah satu yang hangat dibicarakan adalah kasus sengketa tanah
merunya antara warga dengan PT.Portanigra. kasus ini mencuat saat warga meruya
memprotes keputusan mahkamah agung yang memenangkan gugatan PT.Portanigra atas
tanah seluas 44 Ha. Kepemilikan berganda atas tanah tersebut berawal dari
penyelewengan djuhri,mandor tanah, atas kepercayaan yang diberikan benny
melalui toegono dalam pembebasan di meruya selatan pada tahun 1972. Djuhri
mernjual tanah itu kembali kepada pihak lain karena tahu pembelian tanah itu
melanggar aturan.
Penyelesaian :
Kasus
pertanahan itu timbul karena adanya klaim/pengaduan/keberatan dari masyarakat (
perorangan / badan hukum ) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu
keputusan Tata Usaha Negara dibidang pertahanan yang telah ditetapkan oleh
pejabat Tata Usaha Negara dilingkungan Badan Pertanahan Nasional,serta
keputusan pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang
tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut,mereka ingin mendapat penyelesaian
secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari pejabat
yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu
keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat /surat keputusan pemberian
hak atas tanah), ada pada kepala badan pertanahan Nasional. Kasus pertanahan
meliputi beberapa macam antara lain : mengenai masalah status tanah,masalah
kepemilikan, dan masalah bukti-bukti porelehan yang menjadi dasar pemberian hak
dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari
masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini
akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan
tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah
pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data
yang disampaikan secara langsung ke badan pertanahan Nasional itu masih kurang
jelas atau kurang lengkap. Maka badan pertanahan Nasional akan meminta
penjelasan disertai dengan data serta saran ke kepala kantor wilayah badan
pertanahan Nasional Provinsi dan kepala kantor pertanahan Kabupaten/Kota
setempat letak tanah yang disengketakan.
Bilamana
kelengkapan data tersebut telah dipenuhi,maka selanjutnya diadakan pengkajian
kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur,
kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau
badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat
perlindungan maka apabila dipandang perlu setelah kepala kantor pertanahan
setempat mengadakan penelitian dan apabila dari kenyakinannya memang harus
distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini
dituangkan dalam surat Edaran kepala badan pertanahan nasional tanggal
14-1-1992 no 110-150 perihal pencabutan instruksi menteri dalam negeri no 16
tahun 1984.
Dengan
dicabutnya instruksi menteri dalam negeri no 16 tahun 1984, maka diminta
perhatian dari pejabat badan pertanahan nasional di daerah yaitu para kepala
kantor Wilayah Badan pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala kantor Pertanahan
Kabupaten / Kota , agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo
atas pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari
pengadilan. (perbandingan dengan peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional No 3 tahun 1997 pasal 126 ).[8]
C.
Sumber Hukum
dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
Perlu diuraikan sumber-sumber hukum dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi Syariah, antara lain sebagai berikut:
1.
Sumber Hukum Acara
Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili
sengketa ekonomi syariah adalah Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada
lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006.
Sementara ini Hukum Acara yang berlaku dilingkungan Pengadilan Umum
adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, Rechtreglement
Voor De Buittengewesten (R.Bg) untuk luar Jawa Madura. Kedua aturan Hukum Acara
ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah
diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama.
Disamping dua peraturan sebagaimana tersebut diatas, diberlakukan
juga Bugerlijke Wetbook Voor Indonesia (BW) atau yang disebut dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya buku ke IV tentang Pembuktian yang
termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993.
2.
Sumber Hukum Materil
a.
Nash al Qur’an
Dalam al Qur’an terdapat berbagai ayat yang membahas tentang
ekonomi berdasarkan prinsip syariah yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan
berbagai masalah ekonomi dan keuangan. Syauqi al Fanjani menyebutkan secara
eksplisit ada 21 ayat yaitu Al Baqarah ayat 188, 275 dan 279, An Nisa ayat 5
dan 32, Hud ayat 61 dan 116, al Isra ayat 27, dan lain-lain.
Disamping ayat-ayat tersebut diatas sebenarnya masih banyak lagi
ayat-ayat al Qur’an yang membahas tentang masalah ekonomi dan keuangan baik
secara mikro maupun makro, terutama tentang prinsip-prinsip dasar keadilan dan
pemerataan, serta berupaya selalu siap untuk memenuhi transaksi ekonomi yang
dilakukannya selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah.
b.
Nash al Hadits
Melihat kepada kitab-kitab Hadits yang disusun leh para ulama hadits
dapat diketahui bahwa banyak sekali hadits Rasulullah SAW yang berkaitan
langsung dengan kegiatan ekonomi dan keuangan islam. Oleh karena itu
mempergunakan al Hadits sebagai sumber hukum dalam penyelesaian sengketa
ekonomi Syariah sangat dianjurkan pada pihak-pihak yang berwenang.
c.
Peraturan Perundang-Undangan
Benyak sekali aturan hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan
memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syariah.
d.
Aqad Perjanjian
Mayoritas ulama berpendapat bahwa asal dari semua transaksi adalah
halal. Namun asal dari persyaratan memang masih diperselisihkan. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa persyaratan itu harus diikat dengan nash-nash atau kesimpulan-kesimpulan
dari nash melalui ijtihad. Demikian telah disepakati bahwa asal dari perjanjian
itu adalah keridhaan kedua belah pihak, konsekuensinya apa yang telah
disepakati bersama harus dilaksanakan. Menurut Taufiq dalam mengadili perkara
sengketa ekonomi Syariah, sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang
lain merupakan pelengkap saja.
e.
Fiqih dan Ushul Fiqh
Fiqih merupakan sumberhukum yang dapat dipergunakan dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Sebagian besar kitab-kitab fiqih
tertentu berisi berbagai masalah muamalah yang dapat dijadikan acuan dalam
menyelesaikan masalah ekonomi syari’ah.
f.
Adat kebiasaan
Jika masalah-masalah yang timbul saat ini tidak ada dalilnya dalam
al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak da prinsip-prinsip umum yang dapat disimpulkan
dari peristiwa itu maka dibenarkan untuk mengambil dari nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat, sepanjang nilai-nilai itu tidak bertentangan dengan syariat
islam.
g.
Yurispudensi[9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak
yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Pihak yang merasa dirugikan menyampaikan
ketidakpuasankepada pihak kedua dan apabila pihak kedua tidak menanggapu dan
memuaskan pihak pertama serta menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadilah
apa yang dinamakan dengan sengketa.
Penyelesaian sengketa dibagi menjadi dua,
yakni penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian
sengketa tidak melalui pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa
di luar pengadilan meliputi mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan lain-lain.
Perlu diuraikan sumber-sumber hukum dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi Syariah, antara lain sebagai berikut:
1.
Sumber Hukum Acara
2.
Sumber Hukum Materil, sumber hukum
ini meliputi :
a.
Nash al Qur’an
b.
Nash al Hadits
c.
Peraturan Perundang-Undangan
d.
Aqad Perjanjian
e.
Fiqih dan Ushul Fiqh
f.
Adat kebiasaan
g.
Yurispudensi
Daftar Pustaka
Kantaatmadja, Komar. 2001. Beberapa masalah
dalam penerapan ADR di Indonesia dalam prospek dan pelaksanaan Arbitrase di
Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti
Salam, Moch. Faisal. 2007. Penyelesaian
sengketa bisns secara nasional dan internasional. Bandung : Mandar Maju
Hak, Nurul. 2011. Ekonomi Islam Hukum
Bisnis Syari’ah. Yogyakarta : Teras
R. Soeroso, Tata Cara Dan Proses
Persidangan. Sinar Grafika, Jakarta,2001
Http://Ayylany.blogspot.com/2014/05/makalah-penyelesaian-sengketa-bisnis.html
diakses pada tanggal 18 mei 2016 pukul 14:50
[1]
Komar kantaatmadja, Beberapa masalah dalam penerapan ADR di Indonesia dalam
prospek dan pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2001,
hlm. 94
[2]
Moch Faisal Salam, Penyeesaian sengketa bisns secara nasiona dan
internasional, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 177-178
[3]
Nurul Hak, Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syari’ah, Teras, Yogyakarta, 2011,
hal.156-157
[4]
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, hal. 261
[5]
Op. Cit, Moch Faisal Salam, hal. 197
[6]
Ibid, hal. 172
[7]
R. Soeroso, Tata Cara Dan Proses Persidangan. Sinar Grafika,
Jakarta,2001, hal. 41
[8]
Http://Ayylany.blogspot.com/2014/05/makalah-penyelesaian-sengketa-bisnis.html
diakses pada tanggal 18 mei 2016 pukul 14:50
[9]
Op.Cit, Nurul Hak, hal.201
Tidak ada komentar:
Posting Komentar